Ubur–ubur merupakan binatang
laut dengan bentuk seperti cendawan, badannya mirip agar-agar, memiliki
struktur tembus pandang, tentakel yang berjuntai dari bagian bawah tubuhnya
serta hampir 90 persen terdiri dari air. Berat seekor ubur-ubur dapat mencapai
10 kg dan mudah ditemui dilaut karena melayang 1-2 meter dari permukaan
laut. Ubur-ubur
dapat hidup di hampir segala iklim. Jenis ubur-ubur yang dikenal di Indonesia
terdiri dari empat jenis yaitu Aurelia aurita, Cassiopeia xamacha, Mastigias
papua dan Tripedalia cyctophora. Ubur-ubur biasanya
selalu dihindari orang karena dapat menyebabkan gatal-gatal bagi yang
menyentuhnya, namun ternyata memiliki harga jual yang tinggi dan selalu
ditunggu kemunculannya oleh nelayan pada musim kemarau.
Sentra produksi ubur-ubur di
Indonesia banyak terdapat di wilayah perairan Cilacap, perairan Kebumen,
perairan Tanjung Jabung Barat Jambi, perairan Prigi Trenggalek, Danau Kakaban
Perairan Berau Kalimantan Timur, kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan,
perairan Muncar Banyuwangi, perairan Alor Nusa Tenggara Timur, Nusa
Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Teluk Kao Halmahera Utara, perairan Bacan
Halmahera Selatan Kepulauan Maluku dan Kepulauan Riau, perairan Panimbang
Banten dan pantai Gunung Kidul Yogyakarta. Produksi ubur-ubur dibeberapa daerah
antara lain di Tanjung Jabung Barat Jambi tahun 2004 sekitar 150 ton, di
Kalimantan Selatan tahun 2005 sekitar 63,8 ton, di pantai Prigi Trenggalek
pada tahun 2005 mencapai 1.245 ton dan di Lumajang tahun 2006 sekitar 100
ton.
Sementara itu, volume ekspor
ubur-ubur dari propinsi Jawa Timur pada tahun 2004 mencapai 1.163 ton dengan
nilai US$ 986.163, sedangkan tahun 2005 mencapai 421,126 ton dengan nilai US$
513.855. Ekspor ubur-ubur dari Jambi ke Malaysia dan Singapura pada tahun
2006 mencapai 3,750 ton dengan nilai US$ 18.750, sementara itu ekspor ubur-ubur
dari Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan ke negara Hongkong dan Taiwan pada
tahun 2006 mencapai 40 ton dan tahun 2007 mencapai 50 ton.
Menurunnya intensitas
hujan telah menjadikan ubur-ubur banyak bermunculan di
berbagai daerah termasuk sekitar perairan pantai Cilacap. Musim ubur-ubur
di Cilacap biasanya terjadi pada bulan September–Nopember, sehingga banyak
nelayan mengalihkan tangkapan dari ikan ke ubur-ubur. Cilacap merupakan salah
satu wilayah pesisir selatan pulau Jawa yang langsung berhadapan dengan
Samudera Hindia sehingga memiliki potensi perikanan yang cukup besar
diantaranya adalah ubur-ubur yang muncul satu tahun sekali.
Nelayan di wilayah Cilacap
menangkap ubur-ubur dengan menggunakan perahu jenis fiber dan compreng
yang dilengkapi dengan alat tangkap jaring, sedangkan pada saat puncak
nelayan menangkap ubur-ubur hanya dengan menggunakan gayung. Satu perahu fiber
dapat mengangkut sekitar 1 (satu) ton ubur-ubur, sedangkan perahu jenis compreng
dapat mengangkut 2-3 ton. Dalam satu hari, nelayan dapat melaut
dua sampai tiga kali, hal ini karena lokasi tangkapannya berada disekitar
perairan pantai seperti pantai Jetis, Binangun, Srandil, Teluk Penyu, Logending
dan Nusakambangan.
Pada saat musim puncak, hasil
tangkapan ubur-ubur basah dari nelayan Cilacap dapat mencapai sekitar
500-800 ton per hari. Tingginya produksi ubur-ubur di Cilacap telah
menguntungkan nelayan, pekerja pengolah ubur-ubur, para kuli bongkar dan
pedagang musiman yang berjualan disekitar lokasi bongkar maupun pabrik pengolah
ubur-ubur.
Proses pengolahan ubur-ubur basah menjadi ubur-ubur
kering yang siap ekspor banyak dilakukan oleh pedagang pengumpul dan pengolah
ubur-ubur di Cilacap dengan jumlah sekitar 10 pengusaha. Pengeringan
ubur-ubur yang siap ekspor adalah dimulai dengan perendaman ubur-ubur basah
dengan air selama beberapa hari untuk menghilangkan lendir dan racun. Setelah
itu, dilakukan pemisahan antara kaki dengan topi ubur-ubur; pencucian dengan
menggunakan tawas; pemberian garam; kemudian peletakan pada rak dan penutupan
dengan karung sampai kering. Proses pengolahan ubur-ubur basah sampai menjadi
kering dapat berlangsung 7 hari, sedangkan untuk ubur-ubur yang setengah kering
(SK) sekitar 5 hari. Dari berat kaki ubur-ubur sebesar 1 kg basah setelah
dilakukan pengeringan tinggal 6-7 % (60-70 gram) dari berat awal, sedangkan
rendemen topi ubur-ubur kering sekitar 3- 4 % dari berat
awal.
Ubur-ubur
basah hasil tangkapan nelayan dijual ke pedagang pengumpul dan pengolah dengan
harga sekitar Rp. 600,- /kg - Rp. 800 ,-/kg untuk ubur-ubur muda, sementara
untuk ubur-ubur yang tua harganya sekitar Rp. 1.000,-/kg – Rp. 1.500,-/kg.
Ubur-ubur yang telah dikeringkan, biasanya di pasarkan ke
pengekspor yang berada di sekitar Cilacap maupun ke Jakarta dan kemudian
dilakukan ekspor ke Jepang, Taiwan, China, Korea, Hongkong dan Singapura. Di negara
pengimpor, ubur-ubur banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan, obat-obatan dan
kosmetik. Harga ubur-ubur kering ditingkat pengekspor dapat mencapai Rp.
30.000,- /kg, sementara untuk yang setengah kering dapat mencapai Rp.
28.000,-/kg.
Permasalahan yang dihadapi
selama ini adalah penduduk yang tinggal disekitar lokasi pengolahan sering
mengeluhkan bau busuk yang bersumber dari pabrik ubur – ubur. Untuk mengatasi
masalah tersebut pemerintah daerah setempat cukup bijaksana yakni melalui
pertemuan antara pengusaha dengan penduduk. Disatu sisi penduduk membutuhkan
lapangan kerja, namun disisi lain merekapun tidak nyaman hidup dengan bau busuk
yang menyengat. Untuk itu sementara diputuskan agar pengusaha hanya mengolah
ubur – ubur setengah jadi hingga produk akhir. Artinya, pengolahan awal
dilakukan di lokasi lain yang jauh dari pemukiman penduduk.
Teknologi
yang digunakan untuk pengolahan ubur-ubur ini cukup sederhana dan tidak
memerlukan investasi yang besar, jumlah tenaga kerja tersedia dengan upah
yang relative masih rendah sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang
diperlukan, dan permintaan pasar domestik maupun inetrnasional cukup besar,
sehingga usaha dibidang pengolahan ubur-ubur ini mempunyai peluang yang besar
untuk dikembangkan.
No comments:
Post a Comment