Ironis Kehidupan Nelayan Miskin ditengah Potensi Perikanan/ Kelautan yang Melimpah
Oleh : Markus Sembiring,S.Pi.,M.I.L
Potongan syair lagu “ Nenek moyangku seorang pelaut’ dan
’bukan lautan tapi kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu’ kini seprtinya
tinggal sekedar lirik lagu lama belaka.
Sekedar ilustrasi ,
mengutip hasil penelitian beberapa ahli perikanan bahwa potensi sumberdaya
perikanan laut Indonesia adalah 6.18 juta ton per tahun yang terdiri dari
potensi ikan pelagis besar 975.05 ribu ton, ikan pelagis kecil 3.23 juta ton,
ikan emersal 1.78 juta ton, ikan karang konsumsi 75 ribu ton dan cumi-cumi
28.25 ribu ton.
Selain potensi perikanan
laut dengan panjang garis pantai terpanjang di dunia, pesisir pantai Indonesia
juga menyediakan lahan untuk budidaya dan marikultur yang cukup luas, yaitu
sekitar 830 ribu hektar. Sampai dengan tahun 1994 menurut Rokhmin Dahuri,
Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Ekspolarasi Laut dan Perikanan
bahwa baru termanfaatkan sekitar 300 ribu hektar. Selain itu jumlah nelayan
atau orang yang terlibat dalam sektor perikanan juga meningkat yaitu 9.86 %
pertahun, pada tahun 1997 tercatat 3.7 juta nelayan, sedankan di bidang
distribusi dan pemasaran ikan mencapai 6.5 juta pekerja, jelas Rokhmin mantan Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia pada masa pemerintahan Gusdur dan
Megawati terdahulu.
Memang sangat terasa
ironis, dengan potensi yang demikian besar, jika nelayan yang mendiami pesisir
lebih dari 22 persen dari seluruh penduduk Indonesia justru berada dibawah
kemiskinan dan selama ini justru terpinggirkan dalam pembangunan yang lebih
mengarah kepada daratan. Secara geografis negeri ini adalah negara maritim yang
beriklim tropis dan memilki sumberdaya perikanan dan kelautan yang melimpah
ruah. Tapi justru selama ini, usaha kecil di bidang perikanan seperti menangkap
ikan di laut dianggap usaha yang tidak layak di beri kredit, sehingga tidak ada
lembaga keuangan dan perbankkan yang percaya kepada nelayan.
Krisis ekonomi dan
depresi rupiah terhadap dollar saat ini juga berdampak terhadap merosotnya
konstribusi ekonomi terhadap sektor lain, namun di sektor perikanan justru
menunjukkan sebaliknya. Data menunjukkan
bahwa ekspor komoditas hasil laut pada tahun 1997 mencapai 1.617,5 juta dollar
AS, disini tampaklah bahwa pada masa krisis, sektor perikanan justru menjadi
tumpuan. Ini menujukkan bahwa perikanan merupakan sektor yang “tahan
banting” dan mempu menghadapi krisis. Kendati demikian potensi perikanan dan
kelautan yang sedimikian besar semestinya dapat berkinerja lebih baik dan
memberikan kontribusi yang lebih signifikan lagi.
Bila dibandingkan dengan
negara tetangga Thailand, hasil yang kita capai tersebut jauh lebih kecil yang
rata-rata nilai ekspor perikanannya mencapai 5.6 miliar dollar AS. Norwegia
yang memiliki luas laut yang jauh lebih kecil di banding Indonesia bisa meraup
nilai ekspor 2 miliar As pertahunnya.
Yang lebih ironis lagi :
kesejahteraan nelayan justru sangat minim dan identik dengan kemiskinan,
menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk meskin hampir 60
% di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir.
Disisi lain pengelolaan
dan pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan dan pesisir selalu beriringan
dengan kerusakan lingkungan dan habitat seperti terumbu karang dan hutan
mangrove, dan hampir semua eksosistim pesisir Indonesia terancam
kelestariannya.
Perlunya Penyamaan Visi
Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang mata pencahariannya sebagian besar bersumber dari aktivitas menangkap ikan dan mengumpulkan hasil laut lainnya. Mereka umumnya hidup di kawasan pesisir pantai dan sangat dipengauhi kondisi alam terutama angin, gelombang, dan arus laut, sehingga aktivitas penangkapan ikan tidak berlangsung sepanjang tahun. Pada periode waktu tertentu nelayan melaut karena angin kencang, gelombang besar dan arus laut yang kuat. Kondisi alam ini kerapkali disebut musim paceklik yaitu suatu musim dimana nelayan tidak beraktivitas sama sekali. Guna mencukupi kebutuhan hidupnya, mereka umumnya mengutang pada juragan yakni pemilik kapal dan alat tangkap.
Oleh karena itu penyamaan visi dalam pembangunan perikanan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat pesisir (nalayan) harus mampu memberikan keuntungan
secara signifikan kepada nelayan yang saat ini masih jauh tertinggal dan harus
ramah lingkungan.
Berdasarkan penelitian dan analisis data yang dilakukan tampaknya memang
terdapat kesalahan dalam perencanaan pembangunan kelautan dan pesisir terutama
aspek-aspek pembinaan nelayan. Kini terlihat harapan baru, Presiden SBY tetap
mempertahankan kabinetnya dengan Departemen Kelautan dan Perikanan dan menunjuk
Fredy Numberi untuk menakhodai lembaga ini. Sebuah kebijakan yang menjanjikan
dan rasanya juga tidak salah pilih "nakhoda" tentunya. Cuma saja,
kendati telah berjalan beberapa tahun, kiprah departemen ini masi kurang
terasakan.
Disamping itu pembangunan perikanan dan kelautan juga mau tak mau harus
memperhatikan kelestarian dan daya dukung lingkungan baik terhadap sumberdaya
perikanan itu sendiri maupun ekosistim lain. Semuanya haruslah bermuara pada peningkatan kemakmuran nelayan, terutama
nelayan kecil dan petani ikan.
Kemiskinan Nelayan
Adapun
beberapa faktor penyebab kemiskinan nelayan, antara lain :
- Rendahnya tingkat pendidikan nelayan, menyebabkan kurangnya pemahaman akan manajemen dan pelestarian sumberdaya
- Kepemilikan laut yang bersifat common property (milik semua) sehingga menimbulkan akses terbuka dalam penangkapan (eksploitasi) yang menimbulkan masalah eksternalitas (terutama eksternalitas negatif) contohnya adalah perebutan fishing ground, gear externality (trawl, dinamit, zat kimia beracun). Eksternalitas ini akan menimbulkan biaya tinggi dengan menurunnya kapasitas sumberdaya perikanan.
- Nelayan mempunyai ilusi untuk menjadi nelayan sukses. Dengan adanya pandangan ini, maka akses tenaga kerja perikanan sulit dikurangi, sehingga sulit untuk keluar dari kemiskinan
- Usaha perikanan mengalami cycle asymmetry (siklus nonsimetris), yaitu sifat kapital perikanan sulit ditarik kembali. Usaha perikanan tergantung pada musim, pada saat musim menguntungkan, nelayan berusaha untuk menambah modal untuk beli kapal dan peralatannya. Tetapi pada saat musim paceklik modal (kapal dan peralatan) tidak mudah untuk dijual
- Usaha sangat kekurangan modal dan sulit untuk akses ke lembaga keuangan. Permodalan biasanyaberasal dari bantuan pemerintah berupa kredit ringan atau subsidi berupa kapal dan alat. Bantuan ini jangka panjang akan menyebabkan dampak yang merugikan nelayan yaitu jumlah armada yang semakin meningkat, justru akan menghasilkan produksi perikanan yang semakin menurun
Dengan peningkatan pendidikan,
penguatan lebaga kelautan, perbaikan manajemen keuangan, pemberdayaan nelayan,
dan pemberian bantuan permodalan disertai dengan penyuluhan berkala yang baik
diharapkan bisa membantu penanggulangan venomena ini. Yang pastinya semua stake holder yang terkait hendaknya
ambil bagian dalam pengembangannya.
No comments:
Post a Comment